Sabrianti A. - 105104054


    TUGAS 1
1.      Apakah bahasa itu mempengaruhi perilaku manusia?
2.      Berikan contoh dalam kehidupan sehari-hari bahasa dan realita, bahasa dan perilaku!
Jawaban:
1.     Menurut saya, bahasa memengaruhi perilaku manusia. Sebab dengan bahasa, perilaku dan watak manusia akan tampak dengan sendirinya. Bahasa yang hakikatnya berfungsi sebagai alat komunikasi sangat berperan penting dalam berinteraksi satu sama lain. Jika bahasa yang kita gunakan kurang baik di masyarakat maka pandangan masyarakat akan menilai secara negatif begitupun sebaliknya.
2.   Contoh Bahasa dan Realita: Apabila seseorang melihat orang yang ingin ditegurnya edangmenaruh telepone genggam di telinganya dan bercakap melalui telepone tersebut, maka orang tersebut akan mengerti dan tidak menegur orang yang ingin disapanya itu. Dan menunggu hingga orang tersebut berhenti menelpon.
Contoh Bahasa dan perilaku: Apabila seseorang sedang berbicara dengan orang yang baru dikenalnya, maka ia akan lebih sopan dan menjaga bahasanya agar lawan tuturnya tersebut tidak tersinggung, sebab ia belum mengenal betul bagaimana watak orang tersebut. Berbeda apabila situasinya mereka sudah saling mengenal.


TUGAS PRESENTASI:
 Teori Wilhelm Von Humboldt 
 
Wilhelm von Humboldt (22 Juni 1767-April 8, 1835) adalah seorang birokrat filsuf, ahli bahasa Jerman. Humboldt adalah kekuatan pendorong di belakang sistem pendidikan di Prusia. Ia telah memengaruhi filsafat bahasa, hermeneutika, semiotika dan linguistik kontemporer. Dia telah mempengaruhi berbagai filsuf dan ahli bahasa termasuk Boas, Buhler, Ernst Cassirer, Noam Chomsky, Hans-Georg Gadamer, Jürgen Habermas, Martin Heidegger, Liebrucks, Pott, Sapir, dan Steinthal.
Wilhelm Von Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan adanya ketergantungan pemikir manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri. Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan juga budaya) masyarakat bahasa lain. Ia berpendapat bahwa substansi bahasa itu terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform atau innereform. Jadi, bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi(lautform) dan pikiran (ideeform).
Dari keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam-bahasa berada di dalam otak. Kedua bentuk inilah yang’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan cara berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu bahasa menyatakan kehidupan dalam( otak,pemikir) penutur bahasa itu.
Hubungan antara bahasa dan budaya merupakan topik tua, tetapi tetap memesona. Wilhem von Humboldt melihat perbedaan bahasa sebagai pembawa perbedaan perspektif kognitif dan perbedaan pandangan dunia. Sejak zaman Panini dan Socrates (Simanjuntak, 1987) kajian bahasa dan berbahasa banyak dilakukan oleh sarjana yang berminat dalam bidang ini. Pada masa lampau ada dua aliran yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologi dan linguistik. Aliran yang pertama adalah aliran empirisme (filsafat postivistik) yang erat berhubungan dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme cenderung mengkaji bagian‑bagian yang membentuk suatu benda sampai ke bagian‑bagiannya yang paling kecil dan mendasarkan kajiannya pada faktor‑faktor luar yang langsung dapat diamati. Aliran ini sering disebut sebagai kajian yang bersifat atomistik dan sering dikaitkan dengan asosianisme dan positivisme.
Leksikon kaya akan makna budaya. Misalnya, leksikon yang digunakan untuk ekspresi kemarahan berbeda dari satu bahasa dan bahasa lainnya. Budaya Malang atau Jawa Timur terkadang menggunakan nama makanan atau rasa makanan untuk mengekspresikan rasa kemarahannya seperti “tempe”, “kecut”, “asem” dll.” Sedangkan, salah satu cara mengungkapkan kemarahan dalam masyarakat Bali adalah dengan menyebutkan bagian tubuh seperti “kacing” (kelingking), “polo” (kepala).  Dari leksikon pronominal juga terdapat perbedaan yang nyata. Misalnya, dalam bahasa Indonesia pronominal kedua adalah kamu, dalam bahasa jawa terdapat tiga kemungkinan: kowe (ngoko), sampeyan (madya), dan panjenengan (karma). Dari leksikon-leksikon ini kita bisa melihat perbedaan cara pandang masyarakat dalam suatu budaya.
Aspek retorika pun bisa memberikan informasi tentang sebuah budaya. Dalam Wahab (1991:40) Kaplan menengarai bahwa ada tiga tipe utama retorika yang berlaku di antara budaya-budaya yang ada di planet bumi ini. Yang pertama adalah retorika model Anglo-Saxon yang berkembang dari cara berpikir Plato-Aristotelian, yang kemudian dianut oleh para pemikir dari dunia barat sejak jaman Yunani kuno. Ciri linier itu tercermin pada pernyataan tesis yang biasanya terdapat pada bagian awal suatu komposisi, kemudian diikuti oleh verivikasinya dengan penjelasan yang lebih rinci pada paragraf-paragraf penunjang. Tipe retorika yang kedua adalah model semitik, yang umumnya berkembang dari budaya Arab-persia. Tipe ini menonjolkan penggunaan pararelisme yang banyak. Tipe retorika yang ketiga menurut Kaplan adalah tipe retorika yangumumnya terdapat pada bangsa-bangsa di Asia, termasuk Indonesia. Penyampaian dalam tipe ini bersifat tidak langsung. Gagasan utamanya dilihat dari beberapa sisi secara tidak langsung.
Aspek pragmatik juga sangat dekat dengan budaya masyarakat penuturnya. Misalnya, terdapat maksim harmoni, yaitu: minimize disagreement; maximize agreement (sedapat mungkin menghindari perdebatan; sebanyak mungkin sependapat). Maksim yang awalnya dikira bersifat universal, ternyata tidak berlaku pada semua budaya. Dalam masyarakat Jawa, maksim ini mungkin berlaku dengan cara memperbanyak mengatakan kata “nggih”. Menurut sebagian besar masyarakat Jawa, hal ini menciptakan suasana yang harmonis. Hal ini berlainan dengan budaya Yahudi. Perbedaaan pendapat justru dihargai karena dengan adanya perbedaan pendapat, hubungan seorang penutur dengan penutur yang lain dianggap hangat dan akrab. Budaya Batak juga senang dengan adanya perbedaan pendapat atau perdebatan. Tidak hanya maksim harmoni, tetapi maksim kesopanan, maksim kejujuran, maksim kerendahan hati dalam suatu daerah bisa berbeda-beda dengan daerah lainnya.
Dari sekilas uraian di atas,  dapat kita simak bahwa analisa bahasa dapat membedah aspek kebahasaan yang terkait dengan kebudayaan. Tidak diragukan lagi bahwa budaya suatu bangsa dapat mengendap dalam sebuah bahasa. Bagaimana dengan budaya dan bahasa di daerah Anda.
Aliran rasionalisme (filsafat kognitivisme) yang cenderung mengkaji prinsip‑prinsip akal yang bersifat batin dan faktor bakat atau pembawaan yang bertanggung jawab mengatur perilaku manusia. Aliran ini mengkaji akal sebagai satu kesatuan yang utuh dan menganggap batin atau akal ini sebagai faktor yang penting untuk diteliti guna memahami perilaku manusia. Oleh sebab itu, aliran ini dianggap bersifat holistik dan dikaitkan dengan nativisme, idealisme, dan mentalisme.
Jauh sebelum psikolinguistik berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu sebenarnya telah banyak dirintis kerja sama dalam bidang linguistik yang memerlukan psikologi dan sebaliknya kerja sama dalam bidang psikologi yang membutuhkan linguistik. Hal itu tampak, misaInya sejak zaman Wilhelm von Humboldt, seorang ahli linguistik berkebangsaan Jerman yang pada awal abad 19 telah mencoba mengkaji hubungan bahasa dengan pikiran. Von Humboldt memperbandingkan tata bahasa dari bahasa Dasar-dasar Psikolinguistik
Belakangan ini Humboldt juga dianggap sebagai pengucap hipotesa "relativitas linguistik", yang lebih dikenal dengan nama "hipotesa Sapir–Whorf, seratusan tahun sebelum Edward Sapir dan Benjamin Whorf. Namun pandangan Humboldt atas perbedaan antara bahasa lebih canggih dan tidak sekaku itu.
yang berbeda dan memperbandingkan perilaku bangsa penutur bahasa itu. Hasilnya menunjukkan bahwa bahasa menentukan pandangan masyarakat penuturnya. Pandangan Von Humboldt itu sangat dipengaruhi oleh aliran rasionalisme yang menganggap bahasa bukan sebagai satu bahan yang siap untuk dipotong‑potong dan diklasifikasikan seperti anggapan aliran empirisme. Tetapi, bahasa itu merupakan satu kegiatan yang mempunyai prinsip sendiri dan bahasa manusia merupakan variasi dari satu tema tertentu.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar