TUGAS 1
1. Apakah bahasa
itu mempengaruhi perilaku manusia?
2.
Berikan contoh
dalam kehidupan sehari-hari bahasa dan realita, bahasa dan perilaku!
Jawaban:
1.
Menurut saya,
bahasa memengaruhi perilaku manusia. Sebab dengan
bahasa, perilaku dan watak manusia akan tampak dengan sendirinya. Bahasa yang
hakikatnya berfungsi sebagai alat komunikasi sangat berperan penting dalam berinteraksi
satu sama lain. Jika bahasa yang kita gunakan kurang baik di masyarakat maka
pandangan masyarakat akan menilai secara negatif begitupun sebaliknya.
2. Contoh Bahasa
dan Realita: Apabila
seseorang melihat orang yang ingin ditegurnya edangmenaruh telepone genggam di
telinganya dan bercakap melalui telepone tersebut, maka orang tersebut akan
mengerti dan tidak menegur orang yang ingin disapanya itu. Dan menunggu hingga
orang tersebut berhenti menelpon.
Contoh Bahasa dan perilaku: Apabila seseorang sedang berbicara
dengan orang yang baru dikenalnya, maka ia akan lebih sopan dan menjaga
bahasanya agar lawan tuturnya tersebut tidak tersinggung, sebab ia belum
mengenal betul bagaimana watak orang tersebut. Berbeda apabila situasinya
mereka sudah saling mengenal.
TUGAS PRESENTASI:
Teori Wilhelm Von Humboldt
Wilhelm
von Humboldt (22 Juni 1767-April 8, 1835) adalah seorang birokrat filsuf, ahli
bahasa Jerman. Humboldt adalah kekuatan pendorong di belakang sistem
pendidikan di Prusia. Ia telah memengaruhi filsafat bahasa, hermeneutika,
semiotika dan linguistik kontemporer. Dia telah mempengaruhi berbagai filsuf
dan ahli bahasa termasuk Boas, Buhler, Ernst Cassirer, Noam Chomsky, Hans-Georg
Gadamer, Jürgen Habermas, Martin Heidegger, Liebrucks, Pott, Sapir, dan Steinthal.
Wilhelm Von Humboldt, sarjana jerman abad ke-19, menekankan
adanya ketergantungan pemikir manusia pada bahasa. Maksudnya, pandangan hidup
dan budaya masyarakat ditentukan oleh bahasa masyarakat itu sendiri.
Anggota-anggota masyarakat itu tidak dapat menyimpang lagi dari garis-garis
yang telah ditentukan oleh bahasanya itu. Kalau salah seorang dari anggota
masyarakat ini ingin mengubah pandangan hidupnya, maka dia harus mempelajari
dulu satu bahasa lain. Maka dengan demikian dia akan menganut cara berpikir (dan
juga budaya) masyarakat bahasa lain. Ia berpendapat bahwa substansi bahasa itu
terdiri dari dua bagian. Bagian pertama berupa bunyi-bunyi, dan bagian lainnya
berupa pikiran-pikiran yang belum terbentuk. Bunyi-bunyi dibentuk oleh
lautform, dan pikiran-pikiran dibentuk oleh ideeform atau innereform. Jadi,
bahasa menurut Von Humboldt merupakan sintese dari bunyi(lautform) dan pikiran
(ideeform).
Dari keterangan itu bias disimpulkan bahwa bunyi bahasa
merupakan bentuk-luar, sedangkan pikiran adalah bentuk-dalam. Bentuk-luar
bahasa itulah yang kita dengar, sedangkan bentuk dalam-bahasa berada di dalam
otak. Kedua bentuk inilah yang’’membelenggu’’ manusia, dan menentukan cara
berpikirnya. Dengan kata lain, Von Humboldt berpendapat bahwa struktur suatu
bahasa menyatakan kehidupan dalam( otak,pemikir) penutur bahasa itu.
Hubungan
antara bahasa dan budaya merupakan topik tua, tetapi tetap memesona. Wilhem von
Humboldt melihat perbedaan bahasa sebagai pembawa perbedaan perspektif kognitif
dan perbedaan pandangan dunia. Sejak zaman Panini dan
Socrates (Simanjuntak, 1987) kajian bahasa dan berbahasa banyak dilakukan oleh
sarjana yang berminat dalam bidang ini. Pada masa lampau ada dua aliran yang
sangat berpengaruh terhadap perkembangan psikologi dan linguistik. Aliran yang
pertama adalah aliran empirisme (filsafat postivistik) yang erat berhubungan
dengan psikologi asosiasi. Aliran empirisme cenderung mengkaji bagian‑bagian
yang membentuk suatu benda sampai ke bagian‑bagiannya yang paling kecil dan
mendasarkan kajiannya pada faktor‑faktor luar yang langsung dapat diamati.
Aliran ini sering disebut sebagai kajian yang bersifat atomistik dan sering
dikaitkan dengan asosianisme dan positivisme.
Leksikon kaya akan makna budaya. Misalnya, leksikon yang
digunakan untuk ekspresi kemarahan berbeda dari satu bahasa dan bahasa lainnya.
Budaya Malang atau Jawa Timur terkadang menggunakan nama makanan atau rasa
makanan untuk mengekspresikan rasa kemarahannya seperti “tempe”, “kecut”,
“asem” dll.” Sedangkan, salah satu cara mengungkapkan kemarahan dalam
masyarakat Bali adalah dengan menyebutkan bagian tubuh seperti “kacing”
(kelingking), “polo” (kepala). Dari leksikon pronominal juga terdapat perbedaan
yang nyata. Misalnya, dalam bahasa Indonesia pronominal kedua adalah kamu,
dalam bahasa jawa terdapat tiga kemungkinan: kowe (ngoko), sampeyan (madya),
dan panjenengan (karma). Dari leksikon-leksikon ini kita bisa melihat perbedaan
cara pandang masyarakat dalam suatu budaya.
Aspek retorika pun bisa memberikan informasi tentang sebuah
budaya. Dalam Wahab (1991:40) Kaplan menengarai bahwa ada tiga tipe utama
retorika yang berlaku di antara budaya-budaya yang ada di planet bumi ini. Yang
pertama adalah retorika model Anglo-Saxon yang berkembang dari cara berpikir
Plato-Aristotelian, yang kemudian dianut oleh para pemikir dari dunia barat
sejak jaman Yunani kuno. Ciri linier itu tercermin pada pernyataan tesis yang
biasanya terdapat pada bagian awal suatu komposisi, kemudian diikuti oleh
verivikasinya dengan penjelasan yang lebih rinci pada paragraf-paragraf
penunjang. Tipe retorika yang kedua adalah model semitik, yang umumnya
berkembang dari budaya Arab-persia. Tipe ini menonjolkan penggunaan pararelisme
yang banyak. Tipe retorika yang ketiga menurut Kaplan adalah tipe retorika
yangumumnya terdapat pada bangsa-bangsa di Asia, termasuk Indonesia.
Penyampaian dalam tipe ini bersifat tidak langsung. Gagasan utamanya dilihat
dari beberapa sisi secara tidak langsung.
Aspek pragmatik juga sangat dekat dengan budaya masyarakat
penuturnya. Misalnya, terdapat maksim harmoni, yaitu: minimize disagreement;
maximize agreement (sedapat mungkin menghindari perdebatan; sebanyak
mungkin sependapat). Maksim yang awalnya dikira bersifat universal, ternyata
tidak berlaku pada semua budaya. Dalam masyarakat Jawa, maksim ini mungkin
berlaku dengan cara memperbanyak mengatakan kata “nggih”. Menurut sebagian
besar masyarakat Jawa, hal ini menciptakan suasana yang harmonis. Hal ini
berlainan dengan budaya Yahudi. Perbedaaan pendapat justru dihargai karena
dengan adanya perbedaan pendapat, hubungan seorang penutur dengan penutur yang
lain dianggap hangat dan akrab. Budaya Batak juga senang dengan adanya
perbedaan pendapat atau perdebatan. Tidak hanya maksim harmoni, tetapi maksim
kesopanan, maksim kejujuran, maksim kerendahan hati dalam suatu daerah bisa
berbeda-beda dengan daerah lainnya.
Dari sekilas uraian di atas, dapat kita simak bahwa
analisa bahasa dapat membedah aspek kebahasaan yang terkait dengan kebudayaan.
Tidak diragukan lagi bahwa budaya suatu bangsa dapat mengendap dalam sebuah
bahasa. Bagaimana dengan budaya dan bahasa di daerah Anda.
Aliran
rasionalisme (filsafat kognitivisme) yang cenderung mengkaji prinsip‑prinsip
akal yang bersifat batin dan faktor bakat atau pembawaan yang bertanggung jawab
mengatur perilaku manusia. Aliran ini mengkaji akal sebagai satu kesatuan yang
utuh dan menganggap batin atau akal ini sebagai faktor yang penting untuk diteliti
guna memahami perilaku manusia. Oleh sebab itu, aliran ini dianggap bersifat
holistik dan dikaitkan dengan nativisme, idealisme, dan mentalisme.
Jauh sebelum psikolinguistik berdiri sendiri sebagai disiplin ilmu
sebenarnya telah banyak dirintis kerja sama dalam bidang linguistik yang
memerlukan psikologi dan sebaliknya kerja sama dalam bidang psikologi yang
membutuhkan linguistik. Hal itu tampak, misaInya sejak zaman Wilhelm von
Humboldt, seorang ahli linguistik berkebangsaan Jerman yang pada awal abad 19
telah mencoba mengkaji hubungan bahasa dengan pikiran. Von Humboldt
memperbandingkan tata bahasa dari bahasa Dasar-dasar Psikolinguistik
Belakangan
ini Humboldt juga dianggap sebagai pengucap hipotesa "relativitas
linguistik", yang lebih dikenal dengan nama "hipotesa Sapir–Whorf,
seratusan tahun sebelum Edward Sapir dan Benjamin Whorf. Namun
pandangan Humboldt atas perbedaan antara bahasa lebih canggih dan tidak sekaku
itu.
yang berbeda dan memperbandingkan perilaku bangsa penutur bahasa
itu. Hasilnya menunjukkan bahwa bahasa menentukan pandangan masyarakat
penuturnya. Pandangan Von Humboldt itu sangat dipengaruhi oleh aliran
rasionalisme yang menganggap bahasa bukan sebagai satu bahan yang siap untuk
dipotong‑potong dan diklasifikasikan seperti anggapan aliran empirisme. Tetapi,
bahasa itu merupakan satu kegiatan yang mempunyai prinsip sendiri dan bahasa
manusia merupakan variasi dari satu tema tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar