Fungsi
Kebahasaan Otak
Sudah dikemukakan bahwa kedua hemisfer otak
mempunyai peranan yang berbeda bagi fungsi kortikal. Fungsi bicara bahasa
dipusatkan pada hemisfer kiri bagi orang yang tidak kidal. Hemisfer kiri ini
disebut juga hemisfer dominan bagi bahasa, dan korteksnya disebut korteks
bahasa. Hemisfer dominan atau superior secara morfologis memang agak berbeda
dari hermifes yang tidak dominan atau inferior. Hemisfer dominan lebih berat,
lebih besar girusnya dan lebih panjang. Hemisfer kiri terutama mempunyai arti
penting bagi bicara/bahasa, juga berperan untuk fungsi memori yang bersifat
verbal. Sebaliknya, hemisfer kanan penting untuk emosi, lagu isyarat (gesture),
baik yang emosional atau verbal.
Hemisfer kiri memang dominan untuk fungsi bicara bahasa,
tetapi tanpa aktifitas hemisfer kanan, maka pembicaraan seseorang akan menjadi
monoton, tidak ada prosodi, tidak ada lagu kalimat, tanpa menampakkan adanya
emosi, dan tanpa disertai isyarat-isyarat bahasa.
FUNGSI WILAYAH OTAK
Pada tahun 1848 Phineas Gage, seorang pekerja jalan
kereta api di Negara bagian Vermount Amerika Serikat, akibat ledakan bagian
depan kepalanya terkena lemparan balok bantalan rel, dan mencederainya (Fromkin
and Rodman, 1974). Saat dikabarkan, Gage yang terkena lemparan balok itu tidak
akan sembuh. Namun, ternyata sebulan kemudian sembuh, dan dapat bekerja
kembali, dan tidak terdapat kerusakan pada indera penglihatan maupun
pengucapannya, dia tetap dapat berbicara dengan lancar. Berdasarkan peristiwa
yang dialami Phineas Gage ini dapat disimpulkan bahwa daerah kemampuan
berbahasa tidak terletak di bagian depan otak.
Pada tahun 1861, seorang ahli bedah Prancis, Paul
Broca menemukan
seorang pasien yang tidak dapat berbicara, hanya dapat mengucapkan “tantan”.
Kemudian setelah pasien itu meninggal dan dibedah kemudian ditemukan kerusakan
otak di daerah frontal, yang kemudian daerah itu disebut daerah Broca, sesuai
dengan nama penemu. Jadi, kerusakan pada daerah Broca itu, menyebabkan
seseorang mendapatkan kesulitan dalam
mendapatkan ujaran. Broca juga melaporkan bahwa kerusakan pada daerah yang sama
pada hemisfer kanan tidak menimbulkan pengaruh yang sama, artinya, pasien yang
mendapat kerusakan yang sama pada hemisfer kanan tetap dapat menghasilkan
ujaran normal. Penmuan ini menjadi dasar teori bahwa kemampuan bahasa terletak
di belahan atau hemisfer kiri otak, dan daerah Broca berperanan penting dalam
proses atau perwujudan bahasa.
Pada tahun 1873 seorang dokter Jerman, Carl Wernicke
menemukan kasus pasien yang mempunyai kelainan wicara, yakni tidak mengerti
maksud pembicaraan orang lain, tetapi masih dapat berbicara sekadarnya.
Penyebabnya, menurut Wernicke, setelah dibedah, terdapat kerusakan otak pada
bagian belakang (temporalis), yang kemudian disebut daerah Wernicke, sesuai
dengan namanya sebagai penemu. Berdasarkan temuan itu diakui bahwa daerah
Wernicke berperan penting dalam pemahaman ujaran. Penemuan ini memperkuat teori
bahwa letak kemampuan bahasa di belahan kiri otak.
Satu daerah lagi yang terlibat dalam proses ujaran
adalah daerah korteks ujaran superior atau daerah motor suplementer. Bukti
bahwa daerah itu dilibatkan dalam
artikulasi fisik berasal dari ahli bedah saraf, Penfield dan Robert, yang
melakukan penelitian dengan teknik ESB (Electrical
Stimulation of Brain) (Yale
1985:126, Simanjutak, 1990:29). Dengan bantuan arus listrik keduanya dapat
mengidentifikasikan daerah-daerah otak yang dipengaruhi rangsangan listrik.
Daerah-daerah yang terkena rangsangan listrik itu mempengaruhi hasil ujaran
secara normal. Karena daerah motor suplementer itu berdekatan dengan celah yang
digunakan untuk mengendalikan gerak fisik, yakni menggerakkan tangan, kaki,
lengan, dan lain-lain, daerah itu juga mengendalikan penghasilan ujaran.
Berdasarkan keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa
ujaran didengar dan dipahami melalui daerah Wernicke pada hemisfer kiri, lalu
isyarat ujaran itu dipindahkan ke daerah Broca untuk menghasilkan balasan ujaran itu. Kemudian sebuah isyarat
tanggapan ujaran itu dikirimkan ke dalam motor suplementer untuk menghasilkan
ujaran secar fisik. Hasil penelitian tentang kerusakn otak oleh Broca dan
Wernicke serta penelitian Penfield dan Robert mengarah pada kesimpulan bahwa
hemisfer kiri dilibatkan dalam hubungannya dengan fungsi bahasa. Krashen (1977)
mengemukakan lima alasan yang mendasari kesimpulan itu. Kelima alasan itu
adalah sebagai berikut:
1. Hilangnya
kemampuan berbahasa akibat kerusakan otak lebih sering disebabkan oleh
kerusakan jaringan saraf herisfer kiri daripada hemisfer kanan.
2. Ketika
hemisfer kiri dianastesia kemampuan berbahasa menjadi hilang, tetapi ketika
hemisfer kanan dianastesia kemampuan berbahasa itu tetap ada.
3. Sewaktu
bersaing dalam menerima masukan bahwa secara bersamaan dalam tes dikotik, ternyata telinga kanan lebih
unggul dalam ketepatan dan kecepatan pemahaman daripada telinga kiri. Keunggulan
telinga kanan itu karena hubungan antara telinga kanan dan hemisfer kiri lebih
baik daripada hubungan telinga kiri dengan hemisfer kanan.
4. Ketika
materi bahasa diberikan melalui penglihatan mata kanan dan mata kiri, maka ternyata penglihatan kanan lebih cepat dan
lebih tepat dalam menangkap materi bahasa itu daripada penglihatan kiri.
Keunggulan penglihatan kanan itu karenahubungan antara penglihatan kanan dan hemisfer kiri lebih baik daripada hubungan
penglihatan kiri dan hemisfer kanan.
5. Pada
waktu melakukan kegiatan berbahasa baik secara terbuka maupun tertutup,
hemisfer kiri menunjukkan kegiata elektris lebih hebat daripada hemisfer kanan.
Hal ini diketahui melalui analisis gelombang otak. Hemisfer yang lebih aktif
lebih sedikit dalam menghasilkan gelombang alpha.
Kesalingketergatungan
Kedua Hemisfer dalam Fungsi Bahasa
Mungkin orang awam tidak pernah berpikir tentang
adanya perbedaan fungsi kedua belahan (hemisfer) otak. Bahkan, mungkin ada yang
tidak yakin kalau otak manusia terbagi menjadi dua sisi atau hemisfer. Mungkin
lebih membingungkan lagiketika mereka mendengar
adanya dominasi sisi (hemisfer) otak tertentu dalam fungsi bahasa
seseorang. Kebingungan ini cukup beralasan karena ketika mereka menggunakan
bahasa, mereka tidak pernah tahu atau tidak bisa membedakan hemisfer mana yang
melakukan peran bahasa. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan alat-alat ujar
(organ of speech) secara spontan
dikendalikan oleh otak mereka. Bisa dipastikan bahwa dalam pikiran mereka hanya
satu otak yang mengendalikan bahasa yang mereka ujarkan.
Kajian untuk mengetahui fungsi bahasa hemisfer itu
masing-masing sudah cukup banyak dilakukan, tetapi sampai sekarang belum ada
keseragaman pendapat. Dengan kata lain, keterlibatan hemisfer tertentu dalam
fungsi bahasa otak masih menyimpan kontroversi. Ada yang mengatakan bahwa
fungsi bahasa yang dikendalikan oleh hemisfer kiri, tetapi ada juga mengatakan
bahwa peran hemisfer kanan dalam pemrosesan bahasa tidak dapat disepelekan.
Bahkan, secara eksplisit ada yang menyatakan bahwa kedua hemisfer (hemisfer
kiri dan kanan) melakukan fungsi bahasa secara bersamaan atau bilateral.
Beberapa ahli bahasa tidak mau ketinggalan berbicara
mengenai peran bahasa hemisfer otak. Parera (1993:51) mencatat bahwa hemisfer
kanan melakukan peran khusus dalam mengenali music dan pola-pola visual yang
kompleks, sedangkan hemisfer kiri mengendalikan kemampuan analitis, matematika,
dan kemampuan berbahasa. Pandangan ini memperlihatkan adanya perbedaan fungsi
kedua hemisfer secara tajam. Misalnya, yang memiliki kapasitas bahasa hanyalah
hemisfer kiri, bukan hemisfer lain. Dalam konteks yang sama, Chaer (2003:120)
memberikan klarifikasi mengenai fungsi bahasa hemisfer. Menurut Chaer, meskipun
hemisfer kiri lebih dominan dalam fungsi bahasa atau ujaran, kalau hemisfer
kanan tidak ikut terlibat, ujaran seseorang cenderung monoton, tidak prosodic,
tidak bernuansa emosi, dan miskin akan isyarat berbahasa. Dari ungkapan Chaer
tersebut terlihat bahwa pelibatan hanya salah satu hemisfer dalam proses atau
aktivitas berbahasa tidak bisa menghasilkan ujaran atau bahasa sempurna yang
diperlukan bagi berlangsungnya komunikasi bermakna. Ketidakterlibatan secara
bersamaan kedua hemisfer mungkin sebagai salah satu penyebab terjadinya
“ketidaknyamanan” komunikasi,terutama yang dirasakan oleh lawan bicara
(pendengar). Chaer lebih condong kepada pandangan bahwa kedua hemisfer secara
bersama-sama, minimal saling
menyokong, berperan dalam pemrosesan bahasa. Tanpa kerja sama yang harmonis
antara kedua hemisfer, kecil kemungkinan terjadinya komunikasi berbahasa yang
ideal.