Kamis, 19 April 2012

INDAYANI_105104046

2. Teori Asosiasi Edward L.Thorndike


Thorndike berprofesi sebagai seorang pendidik dan psikolog yang berkebangsaan Amerika. Lulus S1 dari Universitas Wesleyen tahun 1895, S2 dari Harvard tahun 1896 dan meraih gelar doktor di Columbia tahun 1898. Buku-buku yang ditulisnya antara lain Educational Psychology (1903), Mental and social Measurements (1904), Animal Intelligence (1911), Ateacher’s Word Book (1921),Your City (1939), dan Human Nature and The Social Order (1940).
Edward L. Thorndike (1874-1949) adalah salah seorang penganut paham psikologi tingkah-laku. Berdasarkan hasil percobaannya di laboratorium yang menggunakan beberapa jenis hewan, ia mengemukakan suatu teori belajar yang dikenal dengan teori “pengaitan” (connectionism). Teori tersebut menyatakan bahwa belajar pada hewan dan manusia pada dasarnya berlangsung menurut prinsip yang sama yaitu, belajar merupakan peristiwa terbentuknya ikatan (asosiasi) antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Stimulus adalah suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan organisme untuk beraksi atau berbuat, sedangkan respon adalah sembarang tingkah laku yang dimunculkan karena adanya perangsang. Asosiasi yang demikian itu disebut ”bond” atau ”connection”. Dalam hal ini, akan menjadi lebih kuat atau lebih lemah dalam terbentuknya atau hilangnya kebiasaan-kebiasaan. Oleh karena itu, teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi. Dengan adanya pandangan-pandangan Thorndike yang memberikan sumbangan cukup besar di dunia pendidikan tersebut, maka ia dinobatkan sebagai salah satu tokoh pelopor dalam psikologi pendidikan.
Selain itu, bentuk belajar yang paling khas baik pada hewan maupun pada manusia menurutnya adalah “trial and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-hukum tertentu. Eksperimennya yang terkenal adalah dengan menggunakan kucing yang masih muda dengan kebiasaan-kebiasaan yang masih belum kaku, dibiarkan lapar; kemudian dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut ”problem box”. Dimana konstruksi pintu kurungan tersebut dibuat sedemikian rupa, sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu pintu kurungan akan terbuka dan kucing dapat keluar dan mencapai makanan (daging) yang ditempatkan di luar kurungan itu sebagai hadiah atau daya penarik bagi si kucing yang lapar itu. Pada usaha (trial) yang pertama, kucing itu melakukan bermacam-macam gerakan yang kurang relevan bagi pemecahan problemnya, seperti mencakar, menubruk dan sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Namun waktu yang dibutuhkan dalam usaha yang pertama ini adalah lama. Percobaan yang sama seperti itu dilakukan secara berulang-ulang; pada usaha-usaha (trial) berikutnya dan ternyata waktu yang dibutuhkan untuk memecahkan problem itu makin singkat. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan tersebut, tetapi dia belajar mempertahankan respon-respon yang benar dan menghilangkan atau meninggalkan respon-respon yang salah. Dengan demikian diketahui bahwa supaya tercapai hubungan antara stimulus dan respons perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui usaha–usaha atau percobaan-percobaan (trials) dan kegagalan-kegagalan (error) terlebih dahulu.
Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah. Kalau organisme berada dalam suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan serentakan tingkah laku dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang harus dikeluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu Dalam melaksanakan coba-coba ini, kucing tersebut cenderung untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang tidak mempunyai hasil. Setiap respons menimbulkan stimulus yang baru, selanjutnya stimulus baru ini akan menimbulkan respons lagi, demikian selanjutnya.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
Thorndike mengemukakan bahwa terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon ini mengikuti hukum-hukum berikut:
(1) Hukum kesiapan (law of readiness), hukum ini pada intinya menyatakan bahwa belajar akan berhasil apabila peserta didik benar-benar telah siap untuk belajar. Dengan perkataan lain, apabila suatu materi pelajaran diajarkan kepada anak yang belum siap untuk mempelajari materi tersebut maka tidak akan ada hasilnya.
(2) Hukum latihan (law of exercise), yaitu apabila ikatan antara stimulus dan respon lebih sering terjadi, maka ikatan itu akan terbentuk semakin kuat. Interpretasi dari hukum ini adalah semakin sering suatu pengetahuan—yang telah terbentuk akibat terjadinya asosiasi antara stimulus dan respon—dilatih (digunakan), maka ikatan tersebut akan semakin kuat. Jadi, hukum ini menunjukkan prinsip utama belajar adalah pengulangan. Semakin sering suatu materi pelajaran diulangi maka materi pelajaran tersebut akan semakin kuat tersimpan dalam ingatan (memori).
(3) Hukum akibat (law of effect), yaitu apabila asosiasi yang terbentuk antara stimulus dan respon diikuti oleh suatu kepuasan maka asosiasi akan semakin meningkat. Hal ini berarti (idealnya), jika suatu respon yang diberikan oleh seseorang terhadap suatu stimulus adalah benar dan ia mengetahuinya, maka kepuasan akan tercapai dan asosiasi akan diperkuat.
Konkretnya adalah sebagai berikut: Misalkan seorang siswa diminta untuk menyelesaikan suatu soal matematika, setelah ia kerjakan, ternyata jawabannya benar, maka ia merasa senang/puas dan akibatnya antara soal dan jawabannya yang benar itu akan kuat tersimpan dalam ingatannya. Hukum ini dapat juga diartikan, suatu tindakan yang diikuti akibat yang menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan diulangi pada waktu yang lain. Sebaliknya, suatu tindakan yang diikuti akibat yang tidak menyenangkan, maka tindakan tersebut cenderung akan tidak diulangi pada waktu yang lain.
 Dalam hal ini, tampak bahwa hukum akibat tersebut ada hubungannya dengan pengaruh ganjaran dan hukuman. Ganjaran yang diberikan guru kepada pekerjaan siswa (misalnya pujian guru terhadap siswa yang dapat menyelesaikan soal matematika dengan baik) menyebabkan peserta didik ingin terus melakukan kegiatan serupa. Sedangkan hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa (misalnya celaan guru terhadap hasil pekerjaan matematika siswa) menyebakan siswa tidak lagi mengulangi kesalahannya. Namun perlu diingat, sering terjadi, bahwa hukuman yang diberikan guru atas pekerjaan siswa justru membuat siswa menjadi malas belajar dan bahkan membenci pelajaran matematika.
Selain hukum-hukum di atas, Thorndike juga mengemukakan konsep transfer belajar yang disebutnya transfer of training. Konsep ini maksudnya adalah penggunaan pengetahuan yang telah dimiliki siswa untuk menyelesaikan suatu masalah baru, karena di dalam setiap masalah, ada unsur-unsur dalam masalah itu yang identik dengan unsur-unsur pengetahuan yang telah dimiliki. Unsur-unsur yang identik itu saling berasosiasi sehingga memungkinkan masalah yang dihadapi dapat diselesaikan. Unsur-unsur yang saling berasosiasi itu membentuk satu ikatan sehingga menggambarkan suatu kemampuan. Selanjutnya, setiap kemampuan harus dilatih secara efektif dan dikaitkan dengan kemampuan lain. Misalnya, kemapuan melakukan operasi aritmetik (penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian) yang telah dimiliki siswa, haruslah dilatih terus dengan mengerjakan soal-soal yang berikaitan dengan operasi aritmetik. Dengan demikian kemampuan mengerjakan operasi aritmetika tersebut menjadi mantap dalam pikiran siswa. Jadi, dapat disimpulkan bahwa transfer belajar dapat tercapai dengan sering melakukan latihan.
Dengan memberikan rangsangan (stimulus), maka anak akan mereaksi dengan respons. Hubungan situmulus - respons ini akan menimbulkan kebiasaan-kebiasaan otomatis pada belajar, jadi pada dasamya kelakuan anak adalah terdiri atas respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus tertentu. Dengan latihan-latihan pembentukan maka hubungan-hubungan itu akan semakin menjadi kuat. Inilah yang disebut S-R Bond Theory.
Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakakn oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “ Contemporary Behaviorists” atau juga disebut “S-R Psychologists”. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian, dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-rekasi behavioral dengan stimulasinya.

Aplikasi Teori Thorndike dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Menurut Thorndike praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah dan praktek pendidikan harus dihubungkan dengan proses belajar. Mengajar bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang diajarkan. Mengajar yang baik adalah : tahu tujuan pendidikan, tahu apa yang hendak diajarkan artinya tahu materi apa yang harus diberikan, respons yang akan diharapkan dan tahu kapan “hadiah” selayaknya diberikan kepada peserta didik.
 Beberapa aturan yang dibuat Thorndike berhubungan dengan pengajaran:
•    Perhatikan situasi peserta didik
•    Perhatikan respon yang diharapkan dari situasi tersebut
•    Ciptakan hubungan respon tersebut dengan  sengaja, jangan mengharapkan hubungan terjadi dengan sendirinya
•    Situasi-situasi yang sama angan diindahkan sekiranya memutuskan hubungan tersebut
•    Buat hubungan sedemikian rupa sehingga menghasilkan perbuatan nyata dari peserta didik
•    Bila hendak menciptakan hubungan tertentu jangan membuat hubungan-hubungan lain yang sejenis
•    Ciptakan suasana belajar sedemikian rupa sehingga dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar